Rentan












Foto di atas aku ambil dari laman kbbi.co.id, menurut aku arti yang paling menggambarkan kata rentan untuk tulisan aku kali ini ada pada bagian paling akhir, “sesuatu yang menghasilkan akibat yg tidak dapat diduga”. Kerentanan yang aku mau bahas adalah saat kamu menunjukkan diri dengan menyatakan siapa diri kamu, pikiran, dan perasaan yang kamu miliki walaupun takut dengan pendapat dan respon dari orang lain. Kamu menjadi rentan.
Nah, kebetulan tadi pagi aku scroll down tweet lama aku dan nemuin retweet status teman SMP aku Arini (Halo Arini!). Aku mau jelasin kerentanan pakai tweet Arini waktu itu:
“Kamu tidak basah karena hujan, tapi kamu basah karena memilih menembus hujan”
Okay, maksudnya apa? Hujan sama rentan perasaan jauh banget ya, Nan.
Maksud aku menjadi rentan artinya memilih untuk berubah. Perubahan pasti ada resikonya, berubah menjadi rentan artinya memilih untuk membuka diri pada orang yang kamu pilih. Kamu berubah menjadi lebih vokal dalam menyuarakan siapa diri kamu dan mulai membagikan hal-hal sensitif yang pernah terjadi di hidup kamu.
Kamu sudah tidak virgin? Kamu seorang homoseksual atau malahan biseksual? Kamu pernah melakukan sesuatu yang sangat buruk di masa lalu?


Hal-hal sensitif seperti ini berbeda-beda ya di tiap orang yang pasti ini merupakan suatu hal yang kalau kamu tunjukan bakalan menimbulkan dua respon, kalo ga diterima ya ditolak, misalnya dicap buruk atau dijauhin.
Takut? Ya wajar banget.

Memang dari dulu aku percaya kita paling takut sama sesuatu yang ga bisa kita bayangkan. Makanya kalau gelap kita makin gampang takut karena ngebayangin yang aneh-aneh, misalnya ada sesuatu di kolong kasur, ada yang ngeliatin, ada yang keluar dari cermin, dan seterusnya ga habis-habis sampai lampunya dinyalain lagi.
Kalau sekarang, ceritanya kita takut menjadi rentan karena ga tau reaksi apa yang bakalan muncul dari orang-orang waktu kita memilih untuk membuka diri. 

Penolakan adalah sesuatu yang setiap hari kita takutkan bukan? Apalagi ini berhubungan dengan resiko penolakan pada sesuatu yang ga bisa kita ubah = diri dan pengalaman kita di masa lalu.

Dan tiap hari kita berusaha buat membentuk gambaran positif di depan orang-orang dan lingkungan sekitar kita
Okay balik ke analogi hujan.

Kata orang tua kita, hujan bikin sakit makanya kita ga boleh dan akhirnya ga mau kena hujan. Semakin kita tua, kita juga jadi males kehujanan dan basah. Aku rasa memilih untuk menunjukkan kerentanan sama artinya dengan memilih tetap pergi walaupun pasti bakalan kehujanan buat ke suatu tempat atau buat ketemu seseorang (ceritanya ga ada payung #iyainaja).
Jadi, kenapa ngga nunggu hujan reda? Ya, karena menjadi rentan artinya berusaha untuk membangun sebuah hubungan yang berharga dengan orang lain. Jadi ada resikonya. Menjadi rentan artinya memutuskan untuk menunjukan siapa diri kita dan menyatakan secara terbuka hal-hal yang paling bikin kita takut, takut kalau orang lain tahu mereka langsung menolak dan pergi dari hidup kita.
Gitu banget ya bahasanya nya hehe, but it’s true, artinya sih ngeliat siapa yang bakalan menerima dan tetap menjadi bagian dari hidup kamu.  

Tapi tetep aja ya ditolak itu menakutkan?
Buktinya masih belum banyak dari kita yang bisa bicara secara terbuka tentang our vulnerability, padahal yakin deh pasti banyak dari kita yang sebenernya mengalami hal-hal seperti depresi, stres, kegagalan, atau mungkin mental illness. I don’t know you tell me, soalnya mana ada hidup sempurna. Ada banyak cuman di media sosial karena ga mungkin dong kita ekspos yang sedih sedih, ye ga? Tul ga.
But we need to realize that as a human being we are always touch to each other by our mistakes, imperfection, and suffering. Saat kita menunjukkan itu ke seseorang, sebenernya orang lain belajar untuk mendengarkan dan lebih peka. Dengan bicara mengenai hal-hal seperti itu we are giving a value to those certain relationship and if we lucky enough maybe that person will give you back their story. Kayak salah satu quotes yang aku baca di instagram, “I water you, You water me.” 

Jadi kalaupun kita hari ini masih takut untuk terbuka, kita harus belajar pelan-pelan. Apapun reaksi yang diberikan oleh orang yang kita pilih untuk membuka diri itu tidak masalah. Kalau pada akhirnya orang tersebut menganggap kita buruk, salah, lemah atau apapun yang bikin kita kecewa. Udah fix itu orang itu tidak worthed, soalnya mana ada orang yang sempurna ga pernah khilaf bikin pilihan yang salah atau ga pernah punya momen terburuk dalam hidupnya. Yaudah pergi aja lagi ketempat selanjutnya, karena pada akhirnya hujan ya cuman air yang turun dari langit . Maksud aku, ditolak ya cuman ditolak, bukan masalah besar sama sekali. Beda sama pengalaman yang membentuk kamu yang sekarang, karena itu ga akan pernah berubah dan kamu harus menerimanya. So, own your mistakes and be proud of it, kemarin kamu mungkin berbuat salah, tetapi hari ini dan besok jangan lakukan kesalahan yang sama. 

Menjadi rentan juga berarti berhenti jadi orang yang membosankan yang cuman ngomongin hal-hal yang ada pada surface level. Aku ga bilang kita mesti ngomong serius dan sedih-sedih terus cuman sekali-kali ngomongin sesuatu yang deep itu penting. Lagian belum tentu juga sih ya pengalaman vulnerable kita menyedihkan bisa aja memalukan atau apa kek gitu tergantung perspektif menceritakannya kayak apa. Intinya balik lagi belajar untuk bicara dari hati (hahaha gakuat bahasanya L ). Kalau aku bisa kasih contoh itu kayak anak kecil, mereka itu orang paling menarik karena mereka ga pernah kebanyakan mikir buat ngungkapin perasaannya. Kalau mereka marah karena temennya salah mereka langsung ngomong, kalau mereka takut dan pengen nangis ya mereka nangis, kalau mereka mau ajak temennya main, ya langsung aja diajakin. Mungkin karena itu juga kita sering mikir, enak ya jadi anak kecil hidupnya gampang banget. Ya emang karena mereka mikirnya gampang dan ga ribet sama sekali!
Inget kita juga dulu pernah jadi anak kecil, tapi semakin kita dewasa kita jadi semakin takut dengan hal-hal yang ga bisa kita kontrol. Makanya kita jadi cenderung pasif dalam mengekspresikan perasaan. Padahal pada akhirnya semua emosi itu baik dan ga perlu ditutup-tutupin.

Pada akhirnya, sebenernya aku nulis ini karena ini bener-bener pelajaran besar setahun terakhir buat aku. Kenapa? Aku anaknya gampang ngobrol sama siapa aja tentang apapun yang berada di surface level (asal ga lagi gugup aja karena satu dan dua hal, ehe.) tapi aku jarang bisa maintain hubungan yang deket banget sama orang-orang kalau ga bisa ketemu terus, misalnya kita satu sekolah. I failed all the time because first I rarely wanna speak about my emotions, and second I always forget to put any effort to keep in touch with people in my life. Jadi intinya, pertama aku ga suka ngomong tentang perasaan dan yang kedua aku ga memberikan waktu. Makanya ga ada orang yang aku kenal yang ga bilang aku cold termasuk semua keluarga aku, padahal aku cuman seringnya takut memperlihatkan perasaan. Jadi aku ngerasa artikel ini sangat related  sama aku dan penting buat diubah siapa aja yang kayak aku supaya kita bisa meningkatkan kualitas hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita.

Uda gitu dulu deh sekarang. Oh, iya. Kalo kamu suka slam poetry coba cek video Neil Hilborn – This is Not The End Of The World. Aku suka banget satu line dari puisi ini:
"I am not saying you find the meaning of life in other people. I am saying other people are the life to which you provide the meaning". 


Akhir kata, share your self to the world!
Okay, good bye. Mungkin sehabis ini kayaknya aku mau bahas tentang puisi di atas. Right then, have a nice day.


x